Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Demokrasi : Pengertian/Defenisi, Tipe dan Jenis, Tipologi, Transisi, Legitimasi dan Tantangan

Memahami Makna Sebuah Demokrasi dari Tipe dan Macam, Tipologi, Transisi, Legitimasi, dan Tantangan Demokrasi

Undang-Undang Dasar 1945, sebagai konstitusi tertulis di Indonesia dan juga merupakan refleksi dari cita-cata hukum bangsa Indonesia, secara eksplisit telah menggariskan beberapa prinsip dasar. Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 (perubahan keempat) adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Jauh sebelum termuat dalam UUD 1945 secara historis negara hukum (rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).

Berkenaan dengan Negara hukum, di Indonesia apa yang tersirat dalam konstitusi tersebut baru hanya sebatas cita-cita. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Jimly Asshiddqie: Negara Indonesia ialah ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’ (negara kekuasaan) atau pun korporatokrasi. Namun demikian, yang menjadi masalah pokok kita sekarang ini adalah bahwa perwujudan cita Negara Hukum itu sendiri masih sangat jauh dari kenyataan. Bahkan, dari waktu ke waktu, ciri-ciri negara hukum ideal itu sendiri dalam kenyataannya juga belum kunjung mendekati yang harapan.

Argumentasi Jimly di atas memberikan gambaran, bahwa pada tataran emperis, di Indonesia konsepsi tentang Negara hukum belum berjalan sesuai dengan yang semestinya, bahkan masih jauh dari yang diharapkan. Berkenaan dengan Negara hukum yang ideal, dapat dirujuk apa yang dirumuskan oleh Aristoteles, dia merumuskan Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.

Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya. Maka menurutnya yang memerintah Negara bukanlah manusia melainkan “pikiran yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja. Lebih lanjut Saldi Isra, mengutip dari Brian Z. Tamanaha dalam bukunya yang berjudul On the Rule of Law: History, Politics, Theory mengatakan, merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles, konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan (contrast) dengan konsep rule of man

Berbicara mengenai konsep Negara hukum, ada satu hal yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu demokrasi. Hal ini dikarenakan dalam suatu Negara yang menganut sistem demokrasi, hukum merupakan suatu hal yang sangat prioritas dan keduanya tidak bias dipisahkan. Berkenaan dengan hubungan hukum dan demokrasi Mahfud MD mengatakan: Hubungan antara hukum dan demokrasi dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang, dalam arti bahwa kualitas hukum suatu Negara menentukan kualitas demokrasinya. Artinya, Negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak demokratis, sedangkan Negara-negara yang otoriter atau non demokratis akan lahir hukum-hukum yang non demokratis.

Dari pendapat Mahfud di atas dapat dipahami bahwa, Negara yang demokratis akan melahirkan hukum yang demokratis pula, sedangkan Negara yang otoriter tentunya akan melahirkan hukum yang tidak demokratis. Oleh sebab itu, dapat diartikan bahwa hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan Negara atau pemerintah adalah hukum yang dibuat atas dasar-dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya tali-menali antara paham negara hukum dan kerakyatan, sehingga ada sebutan negara hukum yang demokratis atau democratische rechtsstaat.

Demokrasi : Pengertian/Defenisi, Tipe dan Jenis, Tipologi, Transisi, Legitimasi dan Tantangan
Dengan terlibatnya masyarakat dalam penentuan kebijakan publik merupakan pencerminan suatu negara merupakan negara yang mensinerjikan antara hukum dan demokrasi. Dengan demikian, Negara sebagai organisasi masyarakat yang mempunyai tujuan ideal yang ingin dicapai tidak akan mengesempingkan perananan rakyat dalam merumuskan dan mengimplementasikan tujuan bersama tersebut. Oleh karena itu, hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena hukum tidak dimaksudkan hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang sehingga negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, tetapi demcratische rechtsstaat.

Beranjak dari paparan di atas, jika diamati kondisi Negara Hukum dalam konteks Indonesia, dewasa ini sangat memprihatinkan. Hukum diperlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya untuk umum. Karena hukum yang baik kita perlukan dalam rangka pembuatan kebijakan (policy making) yang diperlukan merekayasa, mendinamisasi, mendorong, dan bahkan mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (policy executing), hukum juga harus difungsikan sebagai sarana pengendali dan sebagai sumber rujukan yang mengikat dalam menjalankan segala roda pemerintahan dan kegiatan penyelenggaraan negara.

1. Pengertian Demokrasi

Secara Etimologis demokrasi berasal dari kata Yunani”Demos” berarti rakyat Dan “Kratos/Kratein” yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Menurut Abraham Lincoln Demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat). Demokrasi berarti pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat baik langsung maupun tidak langsung(melalui perwakilan setelah melalui proses pemilu yang langsung,umum,bebas,rahasia,jujur dan adil).

Defenisi Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. 

Demokrasi merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Sejak komunisme runtuh, demokrasi menjadi ideologi tunggal tanpa tandingan. Paham demokrasi berkembang sangat pesat, dan melintasi batas negara dan benua. Para pemuda dan penggiat demokrasi di negeri Uni Soviet, Myanmar, Vietnam maupun China berteriak histeris dan bahkan rela mati di ujung senapan demi memperjuangkan demokrasi. 

Di negara-negara Timur Tengah, yang selama ini dikenal sebagai negara kerajaan bermetamorfosis menuju demokrasi. Bahkan, studi transisi demokrasi sudah lama menemukan bagaimana negara-negara otoritarian/non demokrasi bergerak menuju demokrasi. Keberhasilan studi demokrasi yang dimotori Guillermo O Donnel, Philippe C Schmitter, dan Laurence Whitehead di Eropa Selatan dan Amerika Latin membawa angin segar dalam perkembangan demokrasi di penjuru dunia. Sejumlah ilmuwan politik berkomentar positif atas pertumbuhan dan perkembangan paham demokrasi. Erazim Kohak menyebutnya: ‘wajah-wajah demokrasi menatap abad keduapuluh’.

Apa yang ditulis Kohal paralel dengan ulasan kritis Jean Baechler, yang mengatakan gagasan demokrasi baru-baru ini memberikan pengaruh yang kuat di Afrika, Asia, Eropa Tengah, dan Eropa Timur, serta Amerika Latin, dimana banyak negara di kawasan-kawasan tersebut sedang berupaya keras menciptakan iklim kebebasan. Di bagian yang lain, Baechler mengatakan para sahabat demokrasi pasti akan gembira menyaksikan merebaknya gagasan demokrasi: ada mendukung, ada pula yang menantang; ada juga sibuk mencari persamaan arti kata demokrasi. Demokrasi adalah rezim bebas? Rezim kesetaraan? Tidak diragukan lagi Analisis Baechler semakin mempertegas kiprah, pengaruh, kekuatan, dan sekaligus kemenangan paham demokrasi dalam tatanan politik global. Hal ini sejalan dengan analisis John L Esposito yang mengatakan, tuntutan terhadap demokratisasi makin marak dalam ranah global dewasa ini.

2. Defenisi Demokrasi Secara Harafiah 

Demokrasi secara harfiah, pemerintahan oleh rakyat sebagai suatu kesatuan (bahasa Yunani; demos) dan bukan oleh setiap bagian, kelas atau kepentingan di dalamnya 435 . Pemahaman ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya kemudian disederhanakan dengan mengatakan bahwa demokrasi adalah kekuasaan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itu artinya dalam spirit demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Istilah ini muncul di Athena dan bagian dari klasifikasi standar bentuk-bentuk rezim yang kekuasaannya dibedakan berdasarkan satu orang (monarki), beberapa orang (aristokrasi), dan banyak orang (demokrasi).

Pemahaman ini paling banyak diucapkan orang ketika berbicara tentang demokrasi. Padahal makna demokrasi tidak tunggal, tetapi banyak sekali. Hanry Kissinger mendefinisikan “demokrasi berangkat dari pandangan bahwa melalui adu gagasan pada akhirnya orang akan mendapatkan sesuatu yang sangat dekat dengan kenyataan.” Sedangkan Karl Popper mengartikan “demokrasi bukan berarti memilih yang terbaik untuk berkuasa dan menjalankan politik yang terbaik, tetapi demokrasi adalah kesempatan untuk meninggalkan pertumpahan darah dalam perebutan kekuasaan”

Definisi Popper menarik untuk dicermati karena menempatkan demokrasi sebagai rezim politik terbaik dalam perebutan kekuasaan. Kekuasaan hendaknya diperebutkan melalui cara-cara damai, minus kekerasan. Karena itu, demokrasi dalam pemahaman ini dipahami sebagai proses pemilihan umum. Dalam pandangan Samuel Huntington, definisi demokrasi ‘berdasarkan pemilihan merupakan definisi minimal bagi sebagian orang, demokrasi memiliki atau seharusnya memiliki konotasi yang jauh lebih luas dan idelistik. Bagi mereka, demokrasi sejati berarti liberte, egalite, fraternite, kontrol yang efektif oleh warga negara terhadap kebijakan pemerintah, pemerintah yang bertanggung jawab, kejujuran dan keterbukaan dalam percaturan politik, musyawaah yang rasional dan didukung dengan informasi yang cukup, partisipasi dan kekuasaan yang setara, dan berbagai kebijakan warga negara lainnya.

Definisi demokrasi Huntington sangat komprehensif. Huntington bisa memadukan antara makna demokrasi praktis dengan demokrasi idealistis. Demokrasi praktis yang dimaksud adalah kontrol warga terhadap kebijakan, ikut berpartipasi dalam pembuatan kebijakan hingga ikut memberikan suaranya pada pemilu. Sementara demokrasi idealistis terdiri dari liberte, egalite, fraternite. 

Sedangkan David Held mengartikan demokrasi sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan dan untuk menampung proyek-proyek politik persaingan. Hal ini dapat dicapai karena ia dapat menahan kemungkinan munculnya prinsip legitimasi yang didasarkan pada keterkaitan politik di satu sisi, dan di sisi lain, pada proses pembuatan kebijakan yang dapat menjembatani perbedaan dan penyaringan hasil-hasil yang dapat diterima.

Sedangkan Robert Dahl mendefinisikan demokrasi sebagai tipe sistem politik yang ideal, dimana warga punya kesempatan untuk pertama, merumuskan preferensinya. Kedua, menunjukkan preferensinya kepada sesama warga dan pemerintah. Ketiga, preferensi mereka dipertimbangkan secara setara oleh pemerintah 440 . Tiga model sistem politik ideal ini akan sulit untuk dipenuhi dalam tataran emprik, karena itu, Robert Dahl menawarkan konsepsi dengan menggunakan poliarki. 

Adapun ciri-ciri dari sistem politik poliarki adalah pertama, kontrol atas keputusan pemerintah diberikan kepada pejabat terpilih sesuai dengan konstitusi. Kedua, pejabat dipilih lewat pemilu yang bebas, adil dan berkala. Ketiga, semua orang dewasa berhak untuk memilih dalam pemilu. Keempat, semua orang dewasa berhak mencalonkan diri menjadi pejabat. Kelima, warga negara berhak mengekspresikan diri sebagai calon bebas mengenai soalsoal politik. Keenam, sumber informasi alternatif tersedia secara bebas dan legal. Terakhir, semua orang berhak membentuk partai, kelompok penekan, dan asosiasi yang independen dari negara.

Semua definisi demokrasi di atas menunjukkan sebuah kerumitan tersendiri. Dikatakan ‘rumit’ karena setiap pakar memiliki definisi tersendiri tentang demokrasi. Karena itu tidaklah salah apabila Abdelwahab El-Affendi mengatakan bahwa ‘istilah dan pemaknaan demokrasi masih diperdebatkan sampai sekarang’. Lagi-lagi demokrasi memiliki multi tafsir. Kerumitan dan multi tafsir demokrasi hanya bisa dijernihkan bila demokrasi harus benar-benar jelas. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang begitu rumit sehingga orang hanya akan memahaminya jika ia telah dipelajari dengan baik sebelumnya.

3. Tipologi Demokrasi

Selain demokrasi banyak makna dan multitafsir dalam pertumbuhan dan perkembangan demokrasi pun ternyata memiliki tipologi yang bervariasi. Berkembangnya tipologi demokrasi menunjukkan hal baik bagi studi demokrasi. Pemahaman ini terekam dalam karya Giovanni Sartori, Thomas Meyer, John T Ishiyama, maupun David Held yang berhasil menemukan sejumlah tipologi demokrasi yang pernah ada dan berkembang di beberapa negara.

4. Tipe dan Macam/Jenis Demokrasi

a. Demokrasi Perwakilan

Demokrasi perwakilan memiliki akar sejarah yang tua dalam studi politik. Sebagaimana dikatakan John T Ishiyana bahwa demokrasi perwakilan berakar pada karya bangsa kuno. Dimulai pada abad ke-5 SM, bangsa Romawi Kuno, yang mengembangkan sistem pemerintahan baru yang disebut demokrasi perwakilan. Secara spesifik dalam demokrasi perwakilan, keputusan pemerintah dibuat oleh kelompok perwakilan yang dipilih . Dengan demikian, maka, titik tolak demokrasi perwakilan adalah pemilihan wakil rakyat oleh rakyat. Oleh karena itu, hak dasar politik yang paling penting untuk rakyat adalah hak pilih. Hak ini mencakup hak memilih dan dipilih. Yang pertama merupakan hak pilih aktif, sedangkan yang lainnya hak pilih pasif.

Ilmuwan   politik   asal   Jerman   lebih   jauh   mengatakan, bahwa  mengartikan  demokrasi  sosial  adalah  konsep  tertentu atas  manajemen  ekonomi,  tetapi tetap  mengarahkan  diri  untuk memandang bahwa pengaturan kebijakan ekonomi dilakukan sesuai dengan nilai-nilai dasar politik. Nilai dasar politik yang terkandung dalam demokrasi sosial adalah pertama, keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Kedua, negara mendominasi masyarakat madani.  Ketiga, peran pasar dibatasi: ekonomi sosial atau campuran. Keempat, pemebrdayaan sumberdaya manusia secara maksimal. Kelima, egalitarianisme yang kuat. Keenam, negara kesejahteraan yang komprehensif, melindungi warga negara: sejak lahir hingga mati. Ketujuh, modernisasi linera. Kedelapan, kesadaran ekologis yang rendah.

b. Demokrasi Langsung

Demokrasi langsung lahir di Athena, dimana kekuasaan pemerintah dijalankan oleh rakyat, dan bukan melalui kelompok perwakilan   terpilih. Negara-Kota Athena mengadopsi bentuk sistem politik ini untuk memberikan kepada rakyatnya kesempatan langsung dalam proses pembuatan keputusan negara . Gagasan ini muncul: dari pengalaman bahwa wakil-wakil politik maupun lembagalembaga politik seperti partai, pemerintah, dan parlemen pada umumnya berusaha untuk memisahkan diri dari kepentingan rakyat. Mereka hanya memperjuangkan kepentingan sendiri dan kemudian secara perlahan mengabaikan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Demokrasi langsung berkeyakinan bahwa pada akhirnya tidak perlu ada pemisahan anatara pemerintah dan rakyat demi mencapai tujuan demokrasi.

Menyatukan antara pemerintah dan masyarakat dalam sebuah sistem politik demokrasi sangat dibutuhkan dalam sistem politik modern. Namun, perlukan dicatat bahwa penyatuan antara pemerintah dan rakyat hanya dimungkinkan dalam pemerintah kecil dengan wilayah kecil. Hal ini terungkap dalam gagasan politik masyarakat Yunani berhasil membangun sistem demokrasi langsung dengan bersandar pada enam hal. Pertama, adanya keharmonisan dari kepentingan masyarakat polis. Kedua, masyarakat polis haruslah bersifat homogen yang berkaitan dengan karakter mereka, jika tidak maka akan menimbulkan konflik sangat tajam di antara mereka. Ketiga, masyarakatnya tentu saja tidak terlampau besar untuk menghindarkan diri dari heterogenitas kepentingan. Keempat, warga masyarakat punya kebebasan untuk berkumpul dan memutuskan hukum dan kebijakan bersama. Kelima, partisipasi masyarakat tidak dibatasi baik dalam pembuatan keputusan maupun dalam administrasi pemerintahan. keenam, polis tersebut haruslah tetap otonomi.

c. Demokrasi Konsosiasionalisme

Demokrasi konsosiasional biasa diimplementasikan dalam negara-negara yang memiliki pembilahan politik, etnis, dan agama. Artinya demokrasi konsosiasional biasa ditemukan dalam negara yang sangat pluralistik. Salah satu tokoh terkenal yang menggagas demokrasi konsosiasional adalah Arend Lijphart dalam bukunya The Politics of Accommodation. Secara sederhana demokrasi konsosiasional adalah democraties with subcultural cleavages and with tendencies toward immobilisme and instability which are deliberately turned into more stable systems by the leaders of the mayor subculturs may be called consociational democracies. Adapun ciri-ciri dari demokrasi konsosiasional adalah pertama, kekuasaan eksekutif dibagi dalam kabinet koalisi yang besar. dalam model ini, semua atau sebagian besar partai penting berbagi kekuasaan eksekutif dalam koalisi bersar. Kedua, penyeimbangan kekuasaan legislatif terhadap eksekutif. Ketiga, korporatisme kelompok kepentingan. Keempat, pemerintah federalisme yang terdesentralisasi. Kelima, bikameralisme yang kuat. Keenam, kekuatan konstitusional: ada konstitusi tertulis dan dapat diubah hanya mayoritas legislatif khusus. Ketujuh, judicial review. Kedelapan, sistem multipartai: dalam masyarakat plural, partai-partai terbagi berdasarkan beberapa garis tujuan. Kesembilan, representasi proporsional; sistem pemilihan ini membagi kursi parlemen di antara partai-partai sesuai proporsi suara yang mereka terima.

d. Demokrasi Deliberatif

Demokrasi deliberatif berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Secara sederhana demokrasi deliberatif bisa didefinisikan sebagai ide bahwa hukum yang sah berasal dari pertimbangan publik, yakni warga negara 457 . Sedangkan David Held mengartikan demokrasi deliberatif adalah pandangan yang menempatkan deliberasi publik atas warga negara yang bebas dan setara sebagai inti legitimasi pembuatan keputusan politik dan pemerintahan sendiri. 458 Dua definisi memberikan penekanan bahwa dalam demokrasi deliberatif, warga negara memiliki kuasa, kebebasan dan kesetaraan dalam menentukan agenda publik. Tujuan utama dari demokrasi deliberatif adalah untuk mengubah pilihan pribadi melalui suatu proses deliberasi menjadi suatu hal yang posisinya kuat dalam menghadapi ujian publik.

Karena itu unggulan demokrasi deliberatif bila dibandingkan dengan demokrasi lainnya adalah pertama, lebih mampu mendorong kemunculan semua pendapat, usulan dan preferensi dari semua partisipan sehingga tersedia banyak pilihan untuk dibahas.   Kedua,   lebih   mampu   mendorong   semua   partisipan untuk menyatakan alasan dan argumen terhadap pendapat dan preferensi yang dikemukakan secara rasional. Ketiga, lebih mampu menghasilkan kesepakatan karena usulan yang ditetapkan sebagai putusan yang mempertimbangkan dan argumentasinya diterima oleh semua warga.

e. Demokrasi Liberalisme

Demokrasi liberalisme sebagai anak kandung dalam perkembangan kapitalisme. Demokrasi liberalisme adalah sebuah demokrasi sistem konstitusional yang menyelenggarakan pemilu multi partai yang kompetitif dan diatur dengan hak pilih universal untuk memilih anggota legislatif dan kepala eksekutif. Dalam demokrasi liberal yang dijunjung tinggi adalah penyelenggaraan pemilu, pengaturan hak pilih dan memilih, dan pentingnya kompetisi. Selain itu, dalam demokrasi liberal ada jaminan terhadap kebebasan, tanggung jawab warga negara secara individu, dan kesejahteraan sosial.   

Dengan bertitik-tolak pada penjelasan tersebut, maka secara komprehensif Larry Diamond membeberkan komponen-komponen pokok yang terkandung dalam demokrasi liberal. Pertama, kontrol terhadap negara, keputusan-keputusan dan alokasi-alokasi sumberdaya publik yang terpilih; dalam hal ini kekuasaan militer berada di bawah subordinasi para pejabat sipil yang terpilih. Kedua, kekuasaan eksekutif dibatasi, secara konstitusional dan faktual, oleh kekuasaan otonomi institusi-institusi pemerintahan lain, seperti peradilan yang independen, parlemen, dan mekanisme akuntabilitas horizontal. Ketiga, selain hasil pemilu yang tidak bisa diprediksi, suara oposisi yang signifikan  dan peluang bagi setiap partai untuk memerintah, demokrasi liberal juga mengakui hak kelompok yang tunduk pada prinsip-prinsip konstitusional untuk membentuk partai dan mengikuti pemilu.

Keempat, demokrasi liberal tidak melarang kelompokkelompok minoritas kultural, etnis, agama dan lainnya untuk mengungkapkan kepentingan dalam proses politik atau berbicara dengan bahasanya dan memperkenalkan budayanya. Kelima, di luar pemilu dan partai, warga negara mempunyai berbagai saluran artikulasi dan representasi dari kepentingan serta nilai-nilai mereka, termasuk kebebasan membentuk dan bergabung dengan beragam perkumpulan dan gerakan independen. Keenam, demokrasi liberal menyediakan sumber-sumber informasi alternatif agar warga negara memiliki akses yang tidak terkekang secara politik. Ketujuh, setiap individu yang memiliki kebebasan beragama, berpendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi, berserikat, berdemokrasi dan menyampaikan petisi. Kedelapan, setiap warga negara memiliki kedaulatan yang setara di hadapan hukum. Kesembilan, kebebasan individu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan yang independen dan tidak diskriminasi, yang keputusankeputusannya ditegakkan dan dihormati pusat-pusat kekuasaan lainnya. Terakhir, rule of law, melindungi warga negara terhadap penahanan yang tidak sah, pengucilan, teror, penyiksaan, dan campur tangan yang tidak sepantasnya dalam kehidupan pribadi oleh negara maupun oleh kekuatan yang terorganisir non-negara dan anti negara.

5. Transisi Demokrasi

Persoalan lainnya yang perlu didalami adalah kajian mengenai transisi  demokrasi.  Kajian  transisi  demokrasi  sangat  penting untuk dipahami kerangka memberikan penilaian mengenai rezim- rezim yang sedang bertansisi dari otoriter menuju demokrasi. secara  teoritik,  transisi  demokrasi  dimaknai  sebagai  titik  awal atau interval antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis. Transisi itu dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan (instalasi) lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi.

Pilihan jalan transisi sangat penting, karena proses-proses yang dilalui akan melibatkan pelaku-pelaku politik, baik yang baru maupun  lama,  baik  yang  konsevatif  ataupu  status  quo  ataupun pro reformasi464. Pilihan transisi demokrasi sejatinya melibatkan banyak  aktor-aktor  politik.  Sebab  dengan  cara  semacam  ini, transisi demokrasi bisa berjalan dengan baik. Secara konseptual transisi demokrasi bisa dilewati empat jalur. Pertama, transformasi atau transisi menuju demokrasi yang diprakarsai dari atas oleh rezim. Yang menempuh jalur ini adalah Taiwan, Meksiko, India, Chile, Turki, Brazil, Peru, Ekuador, Nigeria, Pakistan dan Sudan. Kedua, transisi lewat transplacement atau negosiasi antara rezim yang berkuasa dengan kekuatan oposisi, seperti Nepal, Nikaragua, Mongolia, Bolivia,Honduras, El Salvador, Korea Selatan, dan Afirka Selatan. Ketiga, transisi lewat replacemant (penggantian) atau tekanan kekuatan oposisi dari bawah, yang meliputi Filipina dan Argentina. Keempat, transisi lewat intervensi dari luar. Contoh kasus yang bagus adalah Panama, dimana tentara AS menahan presiden dari pemerintah militer dengan tuduhan terlibat dalam perdagangan obat terlarang.

Harus diingat bahwa dalam kenyataannya keempat model transisi ini tidak berlangsung dalam bentuk aslinya. Sebagai contoh dalam proses demokrasi dari atas (transformasi), dengan desakan yang berarti dari bawah, meskipun lemah, selalu berlangsung. Serupa dengan demokratisasi dari bawah, semacam negosiasi dengan pemerintah juga dilakukan.  Hanya dalam kasus-kasus yang ekstrem model transisi  yang asli berlangsung. Transisi menuju demokratisasi dalam konteks ini selalu merupakan campuran antara beberapa model.

Sementara pakar lain melihat proses transisi demokrasi dari sudut pandang yang berbeda. Maksudnya, sebagian besar demokrasi modern lahir melalui transisi perpecahan. Misalnya, transisi melalui jatuhan rezim otoriter sebelumnya, umumnya karena kalah perang atau diduduki pasukan asing. Contohnya adalah negaranegara demokrasi Eropa Barat dan Jepang sesudah perang dunia ke-2. Cara kedua melalui ‘extrication’ yaitu ketika rezim otoriter tiba-tiba kehilangan legitimasi dan segera menyerahkan kekuasaan kepada kekuatan oposisi demokratis, seperti di Argentina. Cara ketiga, transisi melalui kudeta, yaitu kudeta dimana rezim otoriter digulingkan oleh kelompok elit dalam militer atau oposisi. Contohnya di Portugal pertengahan tahun 1980-an.

6. Legitimasi Demokrasi

Demokrasi berkembang dan bisa diterima banyak pihak. Demokrasi yang sedang perkembang dan tumbuh secara subur dalam sistem apapun. Bahkan, dalam pemimpin politik yang notabene otoriter pun biasanya mengklaim sudah demokratis. Klaim demokrasi ini dilakukan dalam konteks mendapatkan asas legitimasi. Karena itu, tidak salah apabila demokrasi merupakan salah satunya dari setiap segala doktrin demokrasi. Dari sudut pandang demokrasi, tiada yang bisa menyangkal bahwa kekuasaan hanya sah bila berasal dari kekuasaan rakyat, dan didasarkan persetujuan mereka.

Pemahaman bahwa kekuasaan dari rakyat dan didasarkan persetujuan rakyat merupakan bentuk riil dari legitimasi politik. Keabsahan dan penerimaan, sebagian besar pemimpin politik terhadap eksistensi demokrasi. Bahkan, demokrasi diyakini sebagai bentuk pemerintahan paling banyak diadopsi dalam sistem politik, dan pemerintahan. Karena itu, menurut Erazim Kohak, ‘demokrasi akan berkembang terus, menghantarkan suatu cara perdamaian, keadilan, dan itikad baik’. Berpijak pada Kohak, pertumbuhan demokrasi akan terus mengundang optimistik dalam tata-kelola pemerintahan. Karena itu dalam standar literatur demokratisasi kontempoer menyebutkan bahwa demokratisasi bergerak dari pembusukan sebuah sistem rezim otoriter, melewati transisi, menuju konsolidasi dan akan berakhir pada pematangan demokrasi.

7. Tantangan Demokrasi

Sekalipun   demokrasi   memberikan   harapan   baru   dalam   tata- kelola pemerintahan yang demokratik. Namun, fakta di lapangan terkadang berkata lain. Transisi demokrasi ternyata tidak semua negara bangsa bisa lolos menjadi demokratis, tetapi bahkan negara yang kembali otoriter. Karena itu, menarik untuk ditelaah analisis John T Ishiyana dkk, yang mengatakan terkadang demokrasi dianggap sebagai bentuk konvensional dan terkadang sebagai bentuk kekuasaan populer yang korup.

Pemerintah korup merupakan tantangan terberat dari rezim demokrasi. Dikatakan demikian, karena rezim demokratis akan mengalami krisis legitimasi. Selain itu, perkembangan demokrasi juga mengalami arus-balik di sejumlah negara-negara di dunia. Analisis Samuel Huntington menyebutkan beberapa faktor. Pertama, lemahnya nilai-nilai demokratis di kalangan kelompok- kelompok elit yang utama dan khalayak umum. Kedua, krisis atau ambruknya perekonomian sehingga memperhebat konflik sosial dan meningkatkan popularitas cara-cara perbaikan yang hanya dipaksakan oleh pemerintah otoriter. Ketiga, polariasai sosial dan politik yang sering ditimbulkan oleh pemerintah berhaluan kiri yang berupaya memperkenalkan atau ternyata memperkenalkan terlalu banyak reformasi sosial-ekonomi yang besar dalam tempo yang terlalu cepat.

Keempat, tekat kelompok kelas menengah dan kelas atas untuk mengucilkan gerakan-gerakan populis dan kiri serta kelompok-kelompok kelas bawah dari kekuasaan politik. Kelima, lumpuhnya hukum dan ketertiban sebagai akibat terorisme atau pemberontakan. Keenam, intervensi atau penaklukan oleh suatu pemerintah asing yang non-demokratis. Terakhir, efek bola salju dalam wujud efek demonstrasi dari jatuhnya atau tergulingnya sistem demokrasi di negeri-negeri lain.

Semua penjelasan di atas menunjukkan tantangan bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi. Tantangan ini perlu menjadi perhatian khusus bagi ilmuwan politik dalam kerangka mengembalikan kembali roh dan semangat demokrasi sebagai sistem politik yang terbaik. Mengembalikan spirit demokrasi diperlukan sebagai jalan menuju penguatan institusi politik moderen.

Demikian penjelasan tentang makna demokrasi Pengertian/Defenisi, Tipe dan Jenis, Tipologi, Transisi, Legitimasi dan Tantangan yang harus kita ketahui bersama... jangan lupa bagikan dan cek artikel lainnya di blog ini... Terimakasih sudah berkunjung